Jumat, 09 Maret 2012

Situs Ratu Baka


Ratu Baka
Ratuboko Gate.jpg
Pintu gerbang kompleks Ratu Boko
Situs Ratu Baka terletak di Topografi Jawa
{{{alt}}}
Lokasi dalam Topografi Jawa
Informasi Bangunan
Lokasidekat Kota YogyakartaDIY
NegaraIndonesia
Koordinat7.771°LS 110.491°BTKoordinat7.771°LS 110.491°BT
KlienWangsa Sailendra atau Kerajaan Medang Mataram
Penyelesaiankira-kira abad ke-8
Jeniskompleks keraton

Situs Ratu Boko yang berada di atas bukit di selatan Candi Prambanan
Situs Ratu Baka (Bahasa JawaRatu Boko) adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota SurakartaJawa TengahIndonesia. Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas.[1] Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dariKerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton(istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan.[2] Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.
Nama "Ratu Boko" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Boko (Bahasa Jawa, arti harafiah: "raja bangau") adalah ayah dariLoro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan.
Secara administratif, situs ini berada di wilayah Kecamatan PrambananKabupaten Sleman, Yogyakarta dan terletak pada ketinggian hampir 200 m di atas permukaan laut.
Situs ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Daftar isi

  [sembunyikan

[sunting]Riwayat

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatanYogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara ("wihara di bukit yang bebas dari bahaya"). Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha, sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun demikian ditemukan pula unsur–unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.
Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi benteng pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Menurut prasasti Siwagrha tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan yang terdiri atas tumpukan beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas bukit ini dijadikan kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari.
Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, PendopoPringgitankeputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

[sunting]Keistimewaan Situs Ratu Boko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar